Synopsis
In this treatise on the eternal relationship between man, violence, faith and mythology, Laksmi Pamuntjak looks at two seminal essays on a similar topic--Simone Weil's seminal essay, L'Illiade ou le poem de la force, and Rachel Bespaloff's equally powerful essay, De l'Iliade, both written on the eve of World War II--and offers her own 'intervention.'
Praise for "Perang, Langit dan Dua Perempuan":
-
Perbincangan filosofis tiga perempuan-Weil, Bespaloff dan Laksmi- ihwal kekerasan, perang, puisi dan hati. Esai puitis ini tak hanya mendalam, baris-baris kalimatnya menggemakan makna berganda-ganda. Disini filsafat tak cuma mengusik, ia juga menawan dan cantik.
- Bambang Sugiharto
-
Melalui esai yang reflektif dan mengalir, pembaca Perang, Langit dan Dua Perempuan menyusuri berlapis-lapis tafsir: tafsir Homerus atas mitologi Yunani yang dituangkan dalam Iliad, tafsir Simone Weil dan Rachel Bespaloff atas Iliad, dan akhirnya tafsir Laksmi Pamuntjak atas ketiganya. Jika Homerus merombak nilai-nilai zamannya melalui Iliad, epik ini pada gilirannya menjadi suatu medan pemaknaan yang merefleksikan konteks dan kepentingan para penafsirnya di zaman modern. Weil dan Bespaloff memaknai Iliad untuk merespons kekerasan dalam Perang Dunia II dengan cara dan perspektif yang berbeda, sedangkan Laksmi membandingkan kedua respons ini untuk mengingatkan kita pada ‘kekerasan’ melalui cara berpikir fundamentalistik yang mengancam dunia setelah peristiwa 9/11. Dialog intertekstual ketiga perempuan ini – yang sangat peduli pada masalah zamannya -- sangat relevan dan penting bagi intelektual pada masa ini dalam menyikapi kekerasan yang ada disekitar kita. Sebagai pemberi kata terakhir, Laksmi menyarikan bagi kita pelajaran-pelajaran berharga: . Apa konsekuensi sikap anti-kekerasan yang disuarakan oleh Weil? Bagaimana jika ideologi anti kekerasan itu pada gilirannya mereproduksi kekerasan itu sendiri, dengan meminggirkan aspek-aspek lain dalam teks, dan menghadirkan kekerasan itu kembali secara lebih berjaya? Melalui tafsir Bespaloff yang bertolak pada sisi kemanusiaan, Laksmi memilih alternatif lain, yang lebih membuka ruang untuk memahami dan menghormati Yang Lain dalam sosok musuh kita. Dengan penuh empati – namun tanpa kehilangan daya kritis atas pemikiran kedua perempuan yang suaranya tenggelam dalam akhir jaman – Laksmi melakukan suatu ‘intervensi’ budaya. Suara-suara dalam Perang, Langit dan Dua Perempuan penting untuk kita dengarkan, agar tragedi-tragedi kemanusiaan dalam sejarah manusia tidak terulang kembali.
- Melani Budianta
-
Kata kunci esai panjang yang stylish ini adalah ‘kekerasan’… Diskusi ini menggoda kita untuk sekaligus mempertanyakan tempat kekerasan dalam hati, pikiran, dan tindakan kita.
- Sapardi Djoko Damono
-
"…lompatan dahsyat dibuat dari Good Food Guide lewat puisi ke essay yang sarat dengan erudisi.
- Toeti Heraty